Minggu, 24 Maret 2013

makalah PENGANGGARAN SEKTOR UBLIK



PENGANGGARAN SEKTOR PUBLIK

A.    PENGERTIAN
Menurut National Committee on Governmental Accounting (NCGA), saat ini Governmental Accounting Standarts Board (GASB), definisi anggaran (budget) sebagai berikut: Rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan, dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu tertentu.
Perencanaan dalam menyiapkan anggaran sangatlah penting. Bagaimanapun juga hal itu jelas mengungkapkan apa yang akan dilakukan dimasa mendatang. Pemikiran strategis disetiap organisasi adalah proses dimana manajemen berfikir tentang pengintegrasian aktivitas organisasional ke arah tujuan yang beroerientasi kesasaran masa mendatang.
Semakin bergejolak lingkungan pasar, teknologi atau ekonomi eksternal, manajemen akan didorong untuk menyusun stategi. Pemikiran strategis manajemen, direalisasi dalam berbagai perencanaan, dan proses integrasi keseluruhan ini didukung prosedur penganggaran organisasi
Fungsi Anggaran Sektor Publik
Anggaran berfungsi sebagai berikut:
  • Anggaran merupakan hasil akhir proses penyusunan rencana kerja.
  • Anggaran merupakn cetak biru akivitas yang akan dilaksanakan di masa mendatang.
  • Anggaran sebagai alat komujikasi intern yang menghubungkan berbagai unit kerja dan mekanisme kerja antar atasan dan bawahan.
  • Anggaran sebagai alat pengendalian unit kerja.
  • Anggaran sebagai alat motivasi dan persuasi tindakan efektif dan efisien dalam pencapaian visi organisasi.
  • Anggaran merupakan instrumen politik.
  • Anggaran merupakan instrumen kebijakan fiskal.
Karakteristik Anggaran Sektor Publik
Anggaran mempunyai karakteristik:
  • Anggaran dinyatakan dalam satuan keuangan dan satuan selain keuangan.
  • Anggaran umumnya mencakup jangka waktu tertentu, satu atau beberapa tahun.
  • Anggaran berisi komitmen atau kesanggupan manajeman untuk mencapai sasaran yang ditetapkan.
  • Usulan anggaran ditelaah dan disetujui oleh pihak yang berwenang lebih tinggi dari penyusunan anggaran.
  • Sekali disusun, anggaran hanya dapat diubah dalam kondisi tertentu.


B.     PERKEMBANGAN ANGGARAN SEKTOR PUBLIK
Sistem anggaran sektor publik dalam perkembangannya telah menjadi instrumen kebijakan multifungsi yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut terutama tecermin pada komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung merefleksikan arah dan tujuan pelayanan masyarakat yang diharapkan. Anggaran sebagai alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus dapat digunakan sebagai alat pengendalian. Agar fungsi perencanaan dan pengawasan dapat berjalan dengan baik, maka sistem anggaran serta pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.
Sebuah sebagai sistem, perencanaan anggaran sektor publik telah mengalami banyak perkembangan. Sistem perencanaan anggaran publik berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan perkembangan tuntutan yang muncul di masyarakat. Pada dasarnya terdapat beberapa janis pendekatan dalam perencanaan dan penyusunan anggaran sektor publik. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.


C.     JENIS – JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK
            1)                  ANGGARAN TRADISIONAL
Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item.
Ciri lain melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralitis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat keputusan penggunaan anggaran.


Incrementalism
Penekanan dan tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban yang tersebut. Anggaran tradisional bersifat incrementalism, yaitu hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang mendalam. Pendekatan semacam ini tidak saja belum menjamin terpenuhinya kebutuhan rill, namun juga dapat mengakibatkan kesalahan yang terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena kita tidak pernah tahu apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan sebagai tahun dasar penyusunan anggaran tahun ini telah didasarkan atas kebutuhan yang wajar.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep valuer for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan. Aktivitas-aktivitas susulan ini semata-mata dimaksudkan untuk menghabiskan sisa anggaran. Apabila hal tersebut tidak dilakukan akan berdampak pada alokasi anggaran tahun berikutnya. Hal ini disebabkan karena pada pendekatan tradisional, kinerja dinilai berdasarkan habis tidaknya anggaran yang diajukan dan bukan berdasarkan pada pertimbangan ouput yang dihasilkan dari aktivitas yang dilakukan dibandingkan dengan target kinerja yang dikehendaki (outcome).
Anggaran tradisional yang bersifat “incrementalism” cenderung menerima konsep harga pokok pelayanan historis (historic cost of service) tanpa memperhatikan pertanyaan seperti:
  1. Apakah pelayanan tertentu yang dibiayai dengan pengeluaran pemerintah masih dibutuhkan atau masih menjadi prioritas?
  2. Apakah pelayanan yang diberikan telah terdistribusi secara adil dan merata di antara kelompok masyarakat?
  3. Apakah pelayanan diberikan secara ekonomis dan efisien?
  4. Apakah pelayanan yang diberikan mempengaruhi pola kebutuhan publik?
Akibat digunakannya harga pokok pelayanan historis tersebut adalah suatu item, program, atau kegiatan akan muncul lagi dalam anggaran tahun berikutnya meskipun sebenarnya item tersebut sudah tidak dibutuhkan. Perubahan anggaran hanya menyentuh jumlah nominal rupiah yang disesuaikan dengan tingkat inflasi, jumlah penduduk, dan penyesuaian lainnya.
Line-item
Ciri lain anggaran tradisional adalah struktur anggaran bersifat line-item yang didasarkan atas dasar sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Metode line-item budget tidak memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara rill item tertentu sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Karena sifatnya yang demikian, penggunaan anggaran tradisional tidak memungkinkan untuk dilakukan penilaian kinerja secara akurat, karena satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan adalah semata-mata pada ketaatan dalam menggunakan dana yang diusulkan.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur line-item dilandasi alasan adanya orientasi sistem anggaran yang dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran. Berdasarkan hal tersebut, anggaran tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan pengeluaran, seperti misalnya pendapatan dari pemerintah atasan, pendapatan darp pajak, atau pengeluaran untuk gaji, pengeluaran untuk belanja barang, dan sebagainya, bukan berdasar pada tujuan yang ingin dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.

Kelemahan Anggaran Tradisional
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
  1. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
  2. Pendekatan incremental menyebabkan jumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
  3. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
  4. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
  5. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
  6. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
  7. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
  8. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan 'manipulasi anggaran'.
  9. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.

2)        ANGGRAN PUBLIK DENGAN PENDEKATAN NPM (New Public Management)
Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisionalyang terkesan kaku, birorkratis ,dan hierarkis menjadi model menajemen sektor publik yang feksibel dan lebih mengakomodasi pasar perubahan tersebut telah merubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru yang muncul dalam menejemen sektor publik tersebut adalah pendekatan New Public Management.
Model New Public Management mulai dikenal tahun 1980-an dan kembali populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk reinkarnasi, misalnya munculnya konsep “managerialism” ( Pollit, 1993 ); “market-based public administration“ ( Lan,Zhiyong,And Rosenbloom, 1992 ) ; “post-bureaucratic paradigm” (Barzelay, 1992 ); dan “entrepreneurial government“ (osborne and gaebler, 1992). New Public Management berfokus pada manajemen sektor publik yang beroroentasi pada kinerja, bukan berorientasi kebijakan penggunaan paradigma New Public Management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya, dan kompetisi tender.
.



D.    Prinsip-Prinsip Penganggaran

Menurut shafritz dan russell,1977 serta dalam buku yang ditulis oleh Ihyaul Ulum, prinsip-prinsip penyusunan anggaran meliputi:
demokratis. Anggaran negara(baik pusat dan daerah) baik berkaitan dgn pendapatan maupun pengeluaran,harus ditetapkan melalui suatu proses yg mengikut sertakan unsur masyarakat, harus dibahas dan mendapat persetujuan lembaga perwakilan rakyat.
Adil. harus diarahkan untuk kepentingan org bnyk dan secara proporsional, dialokasikan bagi semua kelompok masyarakat sesuai kebutuhannya.
Transparan. proses perencanaan, pelaksanaan, serta pertanggung jwban harus diketahui tdk saja oleh wakil rakyat, tetapi juga oleh masyarakat umum.
bermoral tinggi. pengelolaan anggaran hrs berpegang peraturan perundangan yg berlaku, dan jg senantiasa mengacu pd etika dan moral yg tinggi.,
Berhati-hati. harus dilakukan secara berhati2, karena sumber daya terbatas dan mahal. Hal ini semakin terasa penting jika dikaitkan dgn unsur hutang negara.
Akuntabel. harus dpt dipertanggungjwbkan setiap saat secara intern maupun ekstern kpd rakyat.
Otorisasi oleh legislatif. Anggaran public harus mendapatkan otorisasi dari legislatif terlebih dahulu sebelum eksekutif dapat membelanjakan anggaran tersebut.
Periodik. Artinya anggaran merupakan sesuatu yang bersifat periodik, bisa tahunan maupun multi tahunan.
Akurat. Penganggaran harusnya dilakukan dengan akurat dengan menyesuaikan antara pengeluaran dan pendapatan.
Jelas. Anggaran hendaknya sederhana, dapat dipahami masyarakat, dan tidak membingungkan.
Diketahui publik. Maksudnya adalah anggaran harus diinformasikan kepada masyarakat luas.
Proses Penyusunan Anggaran Sektor Publik
Prinsip-prinsip pokok dalam siklus anggaran:
  • Tahap persiapan anggaran
Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiranj pengeluaran, hendaknya terlebih dahulu diulakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Selain itu, harus disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi pada saat bersamaan drengan pembuatan keputusan tentang angggaran pengeluaran.
  • Tahap ratifikasi
Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki managerial skill namun juga harus mempunyai political skill, salesman ship, dan coalition building yang memadai. Integritas dan kesioapan mental yang tinggi dari eksekutif sangat penting dalam tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari pihak legislatif.
  • Tahap implementasi/pelaksanaan anggaran
Dalam tahap ini yang paling penting adalah yang harus diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem pengendalian manajemen.
  • Tahap pelaporan dan evaluasi
Tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Jika tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik, maka diharapkan tahap budget reporting and evaluation tidak akan menemukan banyak masalah.


E.     PERUBAHAN PENDEKATAN ANGGARAN
Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, munculnya beberpa teknik penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja.

Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karakteristik umum sebagai berikut:
1)        Komprehensif/komparatif
2)        Terintegrasi dan lintas departemen
3)        Proses pengambilan keputusan rasional
4)        Berjangka panjang
5)        Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
6)        Analisis total cost dan benefit
7)        Berorientasi input, output, dan outcome, bukan sekedar input.
8)        Adanya pengawasan kinerja.

I.            ANGGARAN KINERJA
Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayan public. Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat menakankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output. Pendekatan ini juga mengutamakan mekanisme penentuan dan pembuatan prioritas tujuan serta pendekatan yang sistematik dan rasional dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mengimplementasikan hal-hal tersebut anggaran kinerja dilengkapi dengan teknik penganggaran analitis.
Anggaran kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran kinerja. Oleh karena itu, anggaran digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Penilaian kinerja didasarkan pada pelaksanaan value for money dan efektivitas anggaran. Pendekatan ini cenderung menolak pandangan anggaran tradisional yang menganggap bahwa tanpa adanya arahan dan campur tangan, pemerintah akan menyalagunakan kedudukan mereka dan cenderung boros (overspending). Menurut pendekatan anggaran kinerja, dominasi pemerintah akan dapat diawasi dan dikendalikan melalui penerapan internal cost awareness, audit keuangan dan audit kinerja, serta evaluasi kinerja eksternal. Dengan kata lain, pemerintah dipaksa bertindak berdasarkan cost minded dan harus efisien. Selain didorong untuk menggunakan dana secara ekonomis, pemerintah juga dituntut untuk mampu mencapai tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu, agar dapat mencapai tujuan tersebut maka diperlukan adanya program dan tolak ukur sebagai standar kinerja.
System anggaran kinerja pada dasarnya merupakan system yang mencakup kegiatan penyusunan program dan tolak ukur kinerja sebagai instrument untuk mencapai tujuan dan sasaran program. Penerapan system anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penetuan unit kerja yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program, serta penentuan indicator kinerja yang digunakan sebagai tolak ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan.

II.            ZERO BASED BUDGETING (ZBB)
Konsep Zero Based Budgeting dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan yang ada pada system anggaran tradisional. Penyusunan anggaran dengan menggunakan konsep Zero Based Budgeting dapat menghilangkan incrementalism dan line-item karena anggaran diasumsikan mulai dari nol (zero-base). Penyusunan anggaran yang bersifat incremental mendasarkan besarnya realisasi anggaran tahun ini untuk menetapkan anggaran tahun depan, yaitu dengan menyesuaikannya dengan tingkat inflasi atau jumlah penduduk. ZBB tidak berpatokan pada anggaran tahun lalu untuk menyusun anggaran tahun ini, namun penentuan anggaran didasarkan pada kebutuhan saat ini. Dengan ZBB seolah-olah proses anggaran dimulai dari hal yang baru sama sekali. Item anggaran yang sudah tidak relevan dan tidak mendukung pencapaian tujuan organisasi dapat hilang dari struktur anggaran, atau mungkin juga muncul item baru.

Proses Implementasi ZBB
Proses implementasi ZBB terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1.        Identifikasi unit-unit keputusan
Struktur organsasi pada dasarnya terdiri dari pusat-pusat pertanggungjawaban. Setiap pusat pertanggungjawaban merupakan unit pembuat keputusan yang salah satu fungsinya adalah untuk menyiapkan anggaran. Zero Based Budgeting merupakan system anggaran yang berbasis pusat pertanggungjawaban sebagai dasar perencanaan dan pengendalian anggaran. Suatu unit keputusan merupakan kumpulan dari unit keputusan level yang lebih kecil. Sebagai contoh, pemerintah daerah merupakan suatu unit keputusan besar yang dapat dipecah-pecah lagi menjadi dinas-dinas, dinas-dinas dipecah lagi menjadi subdinas-subdinas, subdinas dipecah lagi menjadi subprogram, dan sebagainya. Dengan demikian, suatu pemerintah daerah bisa memiliki ribuan unit keputusan.
Setelah dilakukan identifikasi unit-unit keputusan secara tepat, tahap berikutnya adalah menyiapkan dokomen yang berisi tujuan unit keputusan dan tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Dokumen tersebut disebut paket-paket keputusan.


2.        Penentuan paket-paket keputusan
Paket keputusan merupakan gambaran komprehensif mengenai bagian dari aktivitas organisasi atau fungsi yang dapat dievaluasi secara individual. Paket keputusan dibuat oleh manajer pusat pertanggungjawaban dan harus menunjukkan secara detail estimasi biaya dan pendapatan yang dinyatakan dalam bentuk pencapaian tugas dan perolehan manfaat. Secara teoritis, paket-paket keputusan dimaksudkan untuk mengindentifikasi berbagai alternative kegiatan untuk melaksanakan fungsi unit keputusan dan untuk menentukan perbedaan level usaha pada tiap-tiap alternative. Terdapat dua jenis paket keputusan, yaitu:
a.        Paket keputusan mutually-exclusive
Paket keputusan yang bersifat mutually-exclusive adalah paket-paket keputusan yang memiliki fungsi yang sama. Apabila dipilih salat satu paket kegiatan atau program, maka konsekuensinya adalah menolak semua alternative yang lain.


b.        Paket keputusan incremental
Paket keputusan incremental merefleksikan tingkat usaha yang berbeda (dikaitkan dengan biaya) dalam melaksanakan aktivitas tertentu. Terdapat base package yang menunjukkan tingkat minimal suatu kegiatan, dan paketlain yang tingkat aktivitasnya lebih tinggi yang akan berpengaruh terhadap kenaikan level aktivitas dan juga akan berpengaruh terhadap biaya. Setiap peket memiliki biaya dan manfaat yang dapat ditabulasikan dengan jelas.

3.        Meranking dan mengevaluasi paket keputusan
Jika paket keputusan telah disiapkan, tahap berikutnya adalah merenking semua paket berdasarkan manfaatnya terhadap organisasi. Tahap ini merupakan jembatan untuk menuju proses alokasi sumber daya di antara berbagai kegiatan yang beberapa di antaranya sudah ada dan lainnya baru sama sekali.

Ø  Keunggulan ZBB
1.        Jika ZBB dilaksanakan dengan baik maka dapat menghasilkan alokasi sumber daya secara lebih efisien.
2.        ZBB berfokus pada value for money
3.        Memudahkan untuk mengidentifikasi terjadinya inefisiensi dan ketidakefektivan biaya
4.        Meningkatkan pengetahuan dan motivasi staf dan manajer.
5.        Meningkatkan partisipasi manajemen level bawah dalam proses penyusunan anggaran.
6.        Merupakan cara yang sistematik untuk menggeser status-quo dan mendorong organisasi untuk selalu menguji alternative aktivitas dan pola perilaku biaya serta tingkat pengeluaran.

Ø  Kelemahan ZBB
1.        Prosesnya memakan waktu lama (time consuming), terlalu teoritis dan tidak praktis, membutuhkan biaya yang besar, serta menghasilkan kertas kerja yang menumpuk karena pembuatan paket keputusan.
2.        ZBB cenderung menekankan manfaat jangka pendek.
3.        Implementasi ZBB membutuhkan teknologi yang maju.
4.        Masalah besar yang dihadapi ZBB adalah pada proses merenking dan mereview paket keputusan. Mereview ribuan paket keputusan merupakan pekerjaan yang melelahkan dan membosankan, sehingga dapat mempengaruhi keputusan.
5.        Untuk melakukan peranking paket keputusan dibutuhkan staf yang memiliki keahlian yang mungkin tidak dimiliki organisasi.
6.        Memungkinkan munculnya kesan yang keliru bahwa semua paket keputusan harus masuk dalam anggaran.
7.        Implementasi ZBB menimbulkan masalah keperilakuan dalam organisasi.

III.            Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS)
PBBS merupakan teknik penganggaran yang didasarkan pada teori system yang beriorientasi pada output dan tujuan dengan penekanan utamanya adalah alokasi sumber daya berdasarkan analisis ekonomi. System anggaran PPBS tidak mendasarkan pada struktur organisasi tradisional dari divisi-divisi, namun berdasarkam program, yaitu pengelompokkan aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. PPBS adalah salah satu model penganggaran yang ditujukkan untuk membantu manajemen pemerintah dalam membuat keputusan alokasi sumber daya. Hal tersebut disebabkan sumber daya yang dimiliki pemerintah terbatas jumlahnya, sementara tuntutan masyarakat tidak terbatas jumlahnya. Dalam keadaan tersebut pemerintah dihadapkan pada pilihan alternative keputusan yang memberikan manfaat paling besar pada pencapaian tujuan organisasi secara keseluruhan. PPBS memberikan rerangka untuk membuat pilihan tersebut.



Proses Implementasi PPBS
Langkah-langkah implementasi PPBS meliputi :
1.        Menentukan tujuan umum organisasi dan tujuan unit organisasi dengan jelas.
2.        Mengidentifikasi program-program dan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3.        Mengevaluasi berbagai alternative program dengan menghitung pos benevit dari masing-masing program.
4.        Pemilihan program yang memiliki manfaat besar dengan biaya yang kecil.
5.        Alokasi sumber daya kemasing-masing program yang disetujui.

PPBS mensyarakatkan organisasi menyusun rencana jangka panjang untuk mewujudkan tujuan organisasi melalui program-program. Kuncinya adalah bahwa program-program yang disusun harus terkait dengan tujuan organisasi dan tersebar keseluruh bagian organisasi. Pemerintah harus dapat mengidentifikasi struktur program dan melakukan analisis program. Struktur program merupakan semacam kerangka bangunan dari desain system PPBS. Analisis program terkait dengan kegiatan analisis biaya dan manfaat dari masing-masing program sehingga dapat dilakukan pilihan. Untuk mendukung hal tersebut PPBS membutuhkan system informasi yang canggih agar dapat memonitor kemajuan dalam pencapaian tujuan organisasi. System pelaporan anggaran PPBS harus mampu melaporkan hasil (manfaat) program bukan sekedar jumlah pengeluaran yang telah dilakukan.



Karakteristik PPBS :
1.        Berfokus pada tujuan aktivitas (program) untuk mencapai tujuan.
2.        Secara ekspkisit menjelaskan implikasi terhadap tahun anggaran yang akan dating karena PPBS berorientasi pada masa depan.
3.        Mempertimbangkan semua biaya yang terjadi.
4.        Dilakukan analisis secara sistematis atas berbagai alternative program, yang meliputi (a) identifikasi tujuan, (b) identifikasi secara sistematik alternative program untuk mencapai tujuan, (c) estimasi biaya total dari masing-masing alternative program, dan (d) estimasi manfaat (hasil) yang ingin diperoleh dari masing-masing alternative program.



Kelebihan PPBS :
1.        Memudahkan dalam pendeglasian tanggung jawab dari manajemen puncak ke manajamen menengah.
2.        Dalam jangka panjang dapat mengurangi beban kerja.
3.        Memperbaiki kualitas pelayanan melalui pendekatan sadar biaya (cost-consciousness/cost awareness) dalam perencanaan program.
4.        Lintas departemen sehingga dapat meningkatkan komunikasi, koordiansi, dan kerjasama antar departemen.
5.        Menghilangkan program yang overlapping atau bertentangan dengan pencapaian tujuan organisasi.
6.        PPBS menggunakan teori marginal utility, sehingga mendorong alokasi sumner daya secara optimal.

Kelemahan PPBS :
1.        PPBS membutuhkan system informasi yang canggih, ketersediaan data, adanya system pengukuran, dan staf yang memilih kapabilitas tinggi.
2.        Implementasi PPBS membutuhkan biaya yang besar karena PPBS membutuhksn teknologi yang canggih.
3.        PPBS bagus secara teori, namun sulit untuk diimplemantasikan
4.        PPBS mengabaikan realitas politik dan realitas organisasi sebagai kumpulan manusia yang kompleks
5.        PPBS merupakan teknik anggaran yang statistically oriented. Penggunaan stastisti kadang kurang tajam untuk mengukur efektivitas program. Statistic hanya tepat untuk mengukur beberapa program tertentu saja.
6.        Pengaplikasian PPBS menghadapi masalah teknis. Hal ini terkait dengan sifat program atau kegiatan yang lintas departemen sehingga menyulitkan dalam melakukan alokasi biaya. Semnetara itu system akuntansi dibuat berdasarkan departemen bukan program.

Masalah utama penggunaan ZBB dan PPBS :
1.        Bounded rationality, keterbatasan dalam menganalisis semua alternative untuk melakukan aktivitas.
2.        Kurangnya data untuk membandingkan semua alternative, terutama untuk mengukur output.
3.        Masalah ketidakpasian sumber daya, pola kebutuhan di masa depan, perubahan politik, dan ekonomi.
4.        Pelaksanaan teknik tersebut menimbulkan beban pekerjaan yang sangat berat.
5.        Kesulitan dala menentukan tujuan dan perankingan program terutama ketika terdapat pertentangan kepentingan (confict of interest).
6.        Seringkali tidak memungkinkan untuk melakukan perubahan program secara cepat dan tepat.
7.        Terdapat hambatan birokrasi dan perlawanan politik yang besar untuk berubah (resistence to change).
8.        Pelaksanaan teknik tersbut sering tidak sesuai dengan proses pengambilan keputusan politik. Politik berusaha membuat pelaksanaan lebih “tecnoratic” yang hal tersebut bisa mempengaruhi proses anggaran.
9.        Pada akhirnya, pemerintah beroperasi dalam dunia yang tidak rasional.



















Kesimpulan
Anggaran sebagai alat perencanaan kegiatan publik yang dinyatakan dalam satuan moneter sekaligus dapat digunakan sebagai alat pengendalian. Agar fungsi pengendalian dan pengawasan dapat berjalan dengan baik, maka sistem anggaran serta pencatatan atas penerimaan dan pengeluaran harus dilakukan dengan cermat dan sistematis.
Terdapat dua pendekatan dalam penyusunan angaran sektor publik, yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan New Public Management. Pendekatan NPM dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan dari sistem tradisional. Anggaran dengan pendekatan NPM terdiri dari beberapa jenis, yaitu anggaran kinerja, ZBB, dan PPBS. Anggaran dengan pendekatan NPM sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output.
Perubahan dari sistem anggaran tradisional menuju sistem anggaran dengan pendekatan NPM merupakan bagian penting dari reformasi anggaran. Reformasi anggaran sektor publik dilakukan untuk menjadikan anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik dan menekankan value for money. Beberapa jenis anggatan dengan pendekatan NPM, seperti ZBB, PPBS, dan Anggaran Kinerja perlu dikaji lebih mendalam sebelum diaplikasikan, karena pada masing-masing jenis anggaran tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Penerapan sistem anggaran juga perlu mempertimbangkan aspek sosial, kultural, dan kesiapan teknologi yang dimiliki oleh pemerintah.

Selasa, 19 Maret 2013

Jurnal Tentang CSR ( Tanggung Jawab Perusahaan )




Jurnal Tentang CSR ( Tanggung Jawab Perusahaan )
“PENGARUH KINERJA LINGKUNGAN DAN PENGUNGKAPAN INFORMASI LINGKUNGAN TERHADAP KINERJA EKONOMI PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA”

BENNY DWI SAPUTRA
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. AZHAR MAKSUM, SE, M.Ec, Acc, Ak.
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the impact of environmental performance to environmental disclosure and the impact of environmental performance to economic performance. Different from interrelation model from Suratno, et al (2004), this study puts more emphasis on the impact of the independent variable to the dependent variable.
This study is based on a longitudinal empirical applied research. Through a judgment sampling technique, 16 public companies which participated in the PROPER program from 2006-2007 were included in the research. The data which have already collected are processed with classic assumption test before hypothesis test. Hypothesis test in this research use multiple linier regression, which t test and with f  test on 5% level of significant.
The test result for the first hyphotesis indicated that the impact of environmental performance to economic performance was unsignificantly. The test result for the second hyphotesis indicated that the impact of environmental disclosure to economic performance was positive statistically significant. 35.5% variation from economic performance change which can be explained by the two independent variable. Meanwhile, the reminder 64,5% explained by other variation or factor which not include in regression model.

Keywords :       Enviromental Performance, Enviromental Disclosure, Economic Performance











1. PENDAHULUAN
Tujuan umum perusahaan adalah maksimalisasi laba, namun bersamaan dengan itu perusahaan terkadang melanggar konsensus dan prinsip-prinsip maksimalisasi laba itu sendiri. Prinsip-prinsip yang dilanggar tersebut antara lain adalah kaidah biaya ekonomi (economic cost), biaya akuntansi (accounting cost) dan biaya kesempatan (opportunity cost). Implikasi dari pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah terbengkalainya pengelolaan (manajemen) lingkungan dan rendahnya tingkat kinerja lingkungan serta rendahnya minat perusahaan terhadap konservasi lingkungan. Pelanggaran terhadap prinsip opportunity cost misalnya, telah memberi dampak yang
signifikan bagi keberlanjutan (sustainability) lingkungan global. Di Indonesia dapat dilihat dari berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini, seperti banjir bandang di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tanah longsor di Desa Sijeruk Jawa Tengah dan daerah-daerah lainnya di Jawa dan Sumatera, serta kebakaran hutan di beberapa hutan lindung Kalimantan bahkan munculnya banjir lumpur bercampur gas sulfur akhir-akhir ini di daerah Sidoarjo Jawa Timur merupakan bukti rendahnya perhatian perusahaan terhadap dampak lingkungan dari aktivitas industrinya.
Penelitian Pfleiger et al (2005) menunjukkan bahwa usaha-usaha pelestarian lingkungan oleh perusahaan akan mendatangkan sejumlah keuntungan, diantaranya adalah ketertarikan pemegang saham dan stakeholder terhadap keuntungan perusahaan akibat pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab. Hasil lain mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan yang baik dapat menghindari klaim masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan kualitas produk yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi. Sebagian perusahaan dalam industri modern menyadari sepenuhnya bahwa isu lingkungan dan sosial juga merupakan bagian penting dari perusahaan (Pflieger, et al, 2005). Ferreira (2004) menyatakan bahwa persoalan konservasi lingkungan merupakan tugas setiap individu, pemerintah dan perusahaan. Sebagai bagian dari tatanan sosial, perusahaan seharusnya melaporkan pengelolaan lingkungan perusahannya dalam annual report, Hal ini karena terkait dengan tiga aspek persoalan kepentingan: keberlanjutan aspek ekonomi, lingkungan dan kinerja sosial. Persoalannya memang pelaporan lingkungan dalam annual report, di sebagian besar negara termasuk Indonesia, masih bersifat sukarela. Di Indonesia sendiri, kewajiban pelaporan dampak lingkungan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI hanyalah merupakan pengungkapan yang bersifat non-publik (khusus terhadap insitusi pemerintah yang terkait).
Penelitian empiris mengenai hubungan antara kinerja lingkungan, kinerja ekonomi dan pengungkapan informasi lingkungan secara umum telah mempertimbangkan kekuatan hubungan diantara variabel-variabel tersebut. Ingram dan Frazier (1980) menemukan tidak adanya hubungan yang signifikan dalam pengujian hubungan antara pengungkapan informasi lingkungan dengan kinerja lingkungan. Pattern (2002) menemukan hubungan yang negatif antara pengungkapan informasi lingkungan dalam annual report dengan kinerja lingkungan. Al-Tuwaijri, et al. (2004) menemukan adanya hubungan positif dan signifikan antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan, demikian juga antara pengungkapan informasi lingkungan dengan kinerja ekonomi. Fredman dan Jaggi (1992) menguji hubungan jangka panjang antara kinerja lingkungan dengan kinerja ekonomi dengan menggunakan persentase perubahan dalam tiga ukuran polusi dan berbagai rasio akuntansi sebagai proksi empiris dari kinerja lingkungan dan kinerja ekonomi. Mereka gagal menolak hipotesis nol mengenai tidak adanya hubungan yang signifikan antara kinerja lingkungan dengan kinerja ekonomi. Hubungan antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan yang tidak searah adalah konsisten dengan pemikiran ekonomi tradisional yang menggambarkan hubungan ini sebagai trade off antara profitabilitas perusahaan dengan tindakannya pada tanggung jawab sosial perusahaan.
Berdasarkan perbedaan hasil penelitian-penelitian terdahulu dan pentingnya pengaruh konsep economic performance dalam mempengaruhi kebijakan perusahaan, maka penulis tertarik dan bermaksud untuk melakukan penelitian dengan setting Indonesia dan menetapkan judul “Pengaruh Kinerja lingkungan dan Pengungkapan Informasi Lingkungan Terhadap Kinerja Ekonomi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Corporate Social Responsibility
       Tanggung jawab sosial perusahaan atau yang biasa disebut dengan corporate social responsibility (CSR) merupakan suatu konsep bahwa organisasi, dalam hal ini lebih dispesifikkan kepada perusahaan, adalah memiliki sebuah tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi, yang menciptakan profit demi kelangsungan usaha, tapi juga tanggung jawab sosial dan lingkungan (SWA: 2005). Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, 1994, dalam Haniffa et al, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan (Lindblom, 1994, dalam Haniffa et al, 2005). Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Guthrie dan Parker, 1990).

2.2 Akuntansi Pertanggungjawaban sosial
Akuntansi pertanggungjawaban sosial adalah akuntansi yang memerlukan adanya laporan mengenai terlaksananya pertanggungjawaban sosial perusahaan (Hadibroto,1990). Definisi dari Belkaoui yang dikutip oleh Harahap (1993:185), memberikan istilah akuntansi sosial untuk akuntansi pertanggungjawaban sosial sebagai berikut The process of ordering, measuring, and disclosing the impact of exchanges between a firm and its social environment.

2.3 Pengungkapan Informasi Lingkungan
Alasan utama mengapa suatu pengungkapan diperlukan adalah agar pihak investor dapat melakukan suatu informed decision dalam pengambilan keputusan investasi. Berkaitan dengan keputusan investasi, investor memerlukan tambahan informasi yang tidak hanya informasi tambahan tapi juga informasi non keuangan. Kebutuhan itu didorong oleh adanya perubahan manajerial yang menyebabkan terjadinya perluasan kebutuhan investor akan informasi baru yang mampu menginformasikan hal-hal yang bersifat kualitatif yang berkaitan dengan perusahaan. Informasi kualitatif dipandang memiliki nilai informasi yang mampu menjelaskan fenomena yang terjadi, bagaimana fenomena tersebut dapat terjadi, dan tindakan apa yang akan diambil oleh manajemen terhadap fenomena tersebut. Informasi kualitatif ini dapat diungkapkan dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan.

2.4 Pengukuran Kinerja lingkungan
Selama ini masih belum ada kesepakatan final mengenai pengukuran terhadap kinerja lingkungan, hal ini karena setiap negara memiliki cara pengukuran sendiri, tergantung situasi dan kondisi lingkungan negara masing-masing. Bagaimanapun ukuran yang dipakai untuk mengukur kinerja lingkungan, namun yang terpenting bahwa ukuran yang dipakai adalah valid. Menurut Verma et al. (2001) pengukuran kinerja lingkungan perusahaan harus objektif, akurat, dan teruji dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan stakeholders yang terkandung dalam laporan ini. Pengukuran kinerja lingkungan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1995, ditandai dengan diperkenalkannya program yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia melalui BAPEDAL (Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan) yang diberi nama PROPER. PROPER sebagai alat untuk memeringkat kinerja lingkungan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia.

2.5 Kerangka Konseptual



Perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik merupakan berita baik bagi investor dan calon investor. Perusahaan yang memiliki tingkat kinerja lingkungan yang tinggi akan direspon secara positif oleh investor melalui fluktuasi harga saham perusahaan. Harga saham perusahaan secara relatif dalam industri yang bersangkutan merupakan cerminan pencapaian kinerja ekonomi perusahaan. Begitu pula dengan pengungkapan informasi lingkungan perusahaan manufaktur yang dinilai sebagai perusahaan berisiko lingkungan yang tinggi, perusahaan dengan pengungkapan informasi lingkungan yang tinggi dalam laporan keuangannya akan lebih dapat diandalkan, laporan keuangan yang handal tersebut akan berpengaruh secara positif terhadap kinerja ekonomi, dimana investor akan merespon secara positif dengan fluktuasi harga pasar saham yang semakin tinggi, dan begitu pula sebaliknya.

2.6 Hipotesis Penelitian
Menurut Erlina (2007:38) hipotesis merupakan proposisi yang dirumuskan dengan maksud untuk diuji secara empiris, dan hipotesis merupakan penjelasan sementara tentang perilaku, fenomena atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Kinerja lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan berpengaruh terhadap kinerja ekonomi perusahaan manufaktur”.

3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian asosiatif yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih (Sugiyono, 2006:11)  dengan bentuk hubungan kausal. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2006-2007 yang berjumlah 142 perusahaan.
Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan metode purposive sampling yaitu  “teknik penentuan sampel dengan menggunakan pertimbangan tertentu”. (Indrianto dan Supomo, 1999:131). Dalam hal ini sampel yang diambil harus memenuhi karakteristik yang disyaratkan. Secara umum, karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:
a. perusahaan sampel adalah perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur yang go public dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2006-2007 dan mengungkapkan informasi kinerja lingkungan dalam laporan tahunan (annual report) pada tahun 2006-2007,
b. perusahaan yang dipilih sebagai sampel adalah perusahaan manufaktur yang telah mengikuti Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup tahun 2006-2007, sampel perusahaan adalah 16 perusahaan manufaktur.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif yaitu data yang diukur dalam suatu skala secara numerik (Kuncoro, 2003:124). Data dalam penelitian ini bersifat pooling yaitu gabungan antara time series dan cross section yaitu laporan tahunan perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar pada tahun 2006, dan 2007. Data ini merupakan data sekunder, yaitu sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh atau dicatat oleh pihak lain) (Indriantoro dan Supomo,2002:147). Data laporan tahunan diperoleh dari Pusat Referensi Pasar Modal Bursa Efek Jakarta periode tahun 2006 sampai dengan 2007 dan data mengenai variabel kinerja lingkungan diperoleh dari database Kementerian Lingkungan Hidup dan sumber lainnya.



4. ANALISIS HASIL PENELITIAN

4.1 Uji Asumsi Klasik
Dalam penelitian ini metode analisis data dilakukan dengan metode analisis statistik dan menggunakan software SPSS 15.0. Penggunaan metode analisis regresi dalam pengujian hipotesis, terlebih dahulu diuji apakah model tersebut memenuhi asumsi klasik atau tidak.
4.1.1 Uji Normalitas
Tujuan uji normalitas adalah untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel penganggu atau residual memiliki distribusi normal. Untuk menguji apakah data berdistribusi normal akan digunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan hasil uji statistik dengan model Kolmogorov-Smirnov dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Hal ini dapat dilihat dari nilai Asymp. Sig (2-tailed) adalah 0,164 > 0,05.
4.1.2 Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antar variabel bebas. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dapat disimpulkan penelitian ini bebas dari gejala multikolinearitas. Jika dilihat pada tabel semua variabel independen memiliki VIF 1,884, atau VIF<10. Selain itu nilai toleransi untuk setiap variabel independen adalah 0,531 yaitu lebih besar dari 0,1 (tolerance > 0,1). Dengan demikian disimpulkan tidak ada multikolinearitas dalam model regresi ini.
4.1.3 Uji Heteroskesdastisitas
Uji heteroskesdastisitas bertujuan untuk menguji terjadinya perbedaan variance residual suatu periode pengamatan ke periode yang lain. Uji ini dilakukan dengan mengamati pola tertentu pada grafik scatterplot, dimana bila ada titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y serta tidak membentuk pola maka tidak terjadi heteroskesdastisitas.
4.1.4 Uji Autokorelasi
Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam suatu model linear ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan periode t-1 (sebelumnya). Model regresi yang baik adalah yang bebas dari autokorelasi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi masalah dalam autokorelasi diantaranya adalah dengan Uji Durbin-Watson (DW). Dari tabel Durbin-Watson diatas dapat dilihat bahwa untuk jumlah sampel sebanyak 32 dan variabel bebas sebanyak 2 maka Du=1,57 dan Dl=1,31. Maka nilai DW berada di antara 4-Du dan Dl (2,43 > 2,365 >1,31). Hal ini bermakna bahwa tidak terjadi autokorelasi dalam model regresi.
4.2 Pembahasan

4.2.1 Kinerja Lingkungan
Berdasarkan hasil pengujian regresi linear berganda pada model pertama dengan variabel independen yaitu kinerja lingkungan menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap variabel kinerja ekonomi perusahaan manufaktur. Hal tersebut berdasarkan pada taraf signifikansi dari uji t dengan nilai t = 0,848 (t < 2,042) dan p = 0,403 (p > 0,05). Hal ini berarti bahwa tinggi rendahnya tingkat kinerja lingkungan perusahaan tidak mempengaruhi kinerja ekonomi perusahaan manufaktur. Perilaku variabel kinerja ekonomi pada perusahaan manufaktur tersebut ternyata bukanlah salah satu faktor yang menentukan fluktuasi harga saham dan besarnya dividen yang dibagikan pada suatu periode. Hal tersebut diduga karena kondisi yang terjadi di Indonesia sangat berbeda dengan yang terjadi di beberapa negara lain terutama di negara barat terkait dengan perilaku para pelaku pasar modal di Indonesia. Peneliti menduga bahwa masih ada variabel lain yang digunakan oleh para pelaku pasar modal di Indonesia dalam menentukan portofolio investasi pada perusahaan manufaktur, sebagai contoh: rasio keuangan, ukuran perusahaan, dan kategori investasi apakah perusahaan merupakan penanaman modal dalam negeri (PMDN) ataukah penanaman modal asing (PMA).

4.2.2 Pengungkapan Informasi Lingkungan
Perilaku variabel pengungkapan informasi lingkungan tersebut ternyata merupakan salah satu faktor yang menentukan tingginya kinerja ekonomi perusahaan manufaktur, hal ini dapat dilihat dari analisis uji t, pengungkapan informasi lingkungan menunjukkan pengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan dengan nilai t =  2,539 (2,539 > 2,042) dan p = 0,017 (p < 0,05). Hal ini berarti bahwa semakin luas pengungkapan informasi lingkungan, maka kinerja ekonomi perusahaan manufaktur akan semakin baik. Temuan penelitian ini konsisten dengan model Discretionary Disclosure menurut Verrecchia (1983) dalam Suratno, et al  (2006) bahwa pelaku lingkungan yang baik percaya bahwa mengungkapkan performance mereka menggambarkan kabar baik bagi pelaku pasar.


5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Setelah menganalisis dan melakukan pembahasan dalam penelitian ini, penulis memberikan tiga kesimpulan sebagai berikut:
  1. penelitian ini memberikan hasil bahwa kinerja lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan secara bersama-sama atau simultan memiliki kemampuan mempengaruhi kinerja ekonomi perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tingkat kepercayaan 95%,
  2. penelitian ini memberikan hasil bahwa secara parsial, variabel pengungkapan informasi lingkungan secara statistik berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tingkat kepercayaan 95% ,
  3. penelitian ini memberikan hasil bahwa secara parsial, kinerja lingkungan secara statistik tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tingkat kepercayaan 95% ,

5.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan yang memerlukan perbaikan dan pengembangan dalam penelitian-penelitian berikutnya. Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini adalah:
1.    dalam penelitian ini sampel yang digunakan hanyalah perusahaan manufaktur saja sehingga perusahaan yang dijadikan sampel tidak dapat mewakili keseluruhan perusahaan yang ada di Indonesia,
2.    periode waktu yang diambil dalam penelitian ini hanya tahun 2007, sehingga kondisi tersebut tidak dapat digeneralisir  untuk hasil penelitian yang telah ada,
3.    variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini hanya tiga yaitu, dua variabel independen, yaitu kinerja lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan serta satu variabel dependen, yaitu kinerja ekonomi perusahaan, sehingga variabel-variabel independen tersebut tidak begitu mampu menjelaskan kinerja ekonomi perusahaan manufaktur.

5.3 Saran
Berdasarkan keterbatasan di atas penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
  1. analisis regresi dalam penelitian ini menghasilkan Adjusted R Square () yang cukup rendah walaupun model regresinya secara statistik signifikan dalam menjelaskan pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel dependen.  Dengan demikian penelitian selanjutnya dapat menambahkan atau menggunakan variabel lain untuk menjelaskan kinerja ekonomi perusahaaan manufaktur,
  2. peneliti selanjutnya sebaiknya menggunakan jumlah sampel yang lebih besar, seperti contoh perusahaan industri migas yang pengungkapan lingkungannya juga diatur dalam PSAK.
  3. bagi peneliti selanjutnya, item-item pengungkapan informasi lingkungan hendaknya senantiasa diperbaharui sesuai kondisi masyarakat serta peraturan yang berlaku. Hal ini mungkin dapat dilakukan dengan melibatkan para aktivis sosial serta pihak berwenang terkait dengan masalah sosial.

REFERENCES:
Al-Tuwaijri, S.A., Christensen, T.E. dan Hughes II, K.E. 2004. “The Relations among environmental disclosure, environmental performance, and economic performance: a simultaneous equations approach”. Accounting Organizations and Society. Vol. 29. pp.447-471.
Anggraini, Fr. Reni Retno (2006), “Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta)”, Simposium Nasional Akuntansi 9.
Basamalah, Anies S., and Johnny Jermias (2005), “Social and Environmental Reporting and Auditing in Indonesia: Maintaining Organizational Legitimacy?”, Gadjah Mada International Journal of Business, January-April, Vol. 7, No. 1, pp. 109 – 127.
Belkaoui, Ahmed.R.1992. Accounting Theory.Third Edition. London:Academic            Press Limited.
Berry A Michael dan Dennis A Rondinelli. 1998. “Proactive Corporate Environmental Management: A New Industrial Revolution”. Academy of Management Executive. 12(2). 38-50.
Bragdon, J. dan Marlin, J. 1972. “Is pollution profitable”? Risk Management. Vol. 19. pp.9–18.
Darwin, Ali, 2004. “Penerapan Sustainability Reporting di Indonesia”, Konvensi Nasional Akuntansi V, Program Profesi Lanjutan, Yogyakarta.
Erlina dan Sri Mulyani, 2007. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen, USU Press, Medan.
Freedman, M. dan Jaggi, B. 1992. “An Investigation of The Long-Run Relationship Between Pollution Performance and Economic Performance: the Case of Pulp-and-Paper Firms”. Critical Perspectives on Accounting. Vol. 3(4). pp.315-336.
Gupta, S., & Goldar, B. 2003. “Do Stock Market Penalise Environmental-Unfriendly Behaviour. Evidence from India”Social Science Research Network (SSRN).
Guthrie, J. and L.D. Parker (1990), “Corporate Social Disclosure Practice: A Comparative International Analysis”, Advances in Public Interest Accounting, Vol. 3, pp. 159-175.
Hadibroto.1990. Masalah Akuntansi. Buku Empat. Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Hal:81-88
Haniffa, R.M., dan T.E. Cooke (2005), “The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting”, Journal of Accounting and Public Policy 24, pp. 391-430.
Harahap, Sofyan Syafri.1993. Teori Akuntansi. Jakarta:PT Raja Grafindo         Persada.Hal:205-208.
Hughes, Susan B., Allison Anderson, and Sarah Golde. 2001. “Corporate environmental disclosure: are they useful in determining environmental performance”. Journal of Accounting and Public Policy, 20, 217-240.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo, 2002. Metodologi Penelitian Bisnis:untuk Akuntansi dan Manajemen, Edisi Pertama, BPFE-Yogyakarta,Yogyakarta.
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, 2004. Buku Petunjuk Teknis Penulisan   Proposal Penelitian dan Penulisan Skripsi Jurusan Akuntansi, Fakultas      Ekonomi USU, Medan.
Kuncoro, Mudrajad, 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Erlangga, Jakarta.
Maksum, Azhar dan Azizul Kholis. 2003. ”Analisis Tentang Pentingnya Tanggung Jawab dan Akuntansi Sosial Perusahaan, Studi Empiris di Kota Medan”. Simposium Nasional Akuntansi VI.16-17 Oktober.Surabaya.
Narver, J. 1971. “Rational Management Responses to External Effect”. Academy         of Management Journal. March. pp.99-115.

Patten, D.M. 2002. “The relation between environmental performance and environmental disclosure: a research note”. Accounting, Organization and Society. 27. 763-773.
Pflieger, Juli; Matthias Fischer; Thilo Kupfer; Peter Eyerer. 2005. “The contribution of life cycle assessment to global sustainability reporting of Organization”. Management of Environmental. Vol. 16, No. 2.
Porter, M. dan van der Linde, C. 1995a. “Green and Competitive: Ending the   Stalemate”. Harvard Business Review. Vol. 73(5). pp.120-134.
         , M. dan van der Linde, C. 1995b. “Toward a New Conception of the Environment-Competitiveness Relationship”. Journal of Economic Perspectives. Vol. 9(4). pp.97-118.
Roberts, R.W. (1992), “Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosures: An Application of Stakeholder Theory”, Accounting, Organization and Society, Vol. 17, No. 6: 595-612.
Sembiring, Eddy Rismanda (2005), “Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan         Tanggung Jawab Sosial: Study Empiris pada Perusahaan yang Tercatat Di        Bursa Efek Jakarta”, Simposium Nasional Akuntansi VIII, 2005.
Spicer, B. 1978. “Investors, Corporate Social Performance and Information      Disclosure: an Empirical Study”. The Accounting Review. Vol. 53. pp.94-     111.
Sugiyono, 2006. Statistika untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Suratno, Ign Bondan, Darsono, dan Siti Mutmainah (2006), “Pengaruh Environmental Performance terhadap Environmental Disclosure dan Economic Performance (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Periode 2001-2004”, Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang, 23-26 Agustus 2006.
Sarumpaet, Susi. 2005. “The Relation Between Environmental Performance and Financial Performance Among Indonesian Companies”. SNA VIII Solo. 15-16 September.
Toms, J.S. 2002. “Firm resources, quality signals and the determinants of          corporate Environmental Reputation: Some UK Evidence”. British   Accounting Review, 34, 257- 282
Utomo, Muhammad Muslim (2000), “Praktek Pengungkapan Sosial pada Laporan Tahunan Perusahaan di Indonesia (Studi Perbandingan antara Perusahaan-Perusahaan High Profile dan Low Profile)”, Simposium Nasional Akuntansi 3, 2000.
Widiastuti, H., 2000. “Manfaat Ungkapan Bagi Komunitas Investasi: Suatu Sintesis”, Dian Ekonomi, Vol. VI. No 2.
Wondabio, Ludovicus (2005), “Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Earning Response Coefficient (Studi Empiris Pada perusahaan Yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2005)”, Simposium Nasional Akuntansi 10 Makassar, 26-27 Juli 2007